Mengunjungi Komunitas Wong Jawa di Jantung Kota Bangkok, Thailand

Jika Anda beretnis Jawa, jangan merasa sendirian di Bangkok. Di tengah belantara kota berpenduduk 10 juta itu, ternyata terselip komunitas ratusan masyarakat Jawa. Sudah seabad mereka di sana, namun tradisi, bahasa, dan keyakinan masih tetap terjaga
(Moh ikhwan, bangkok thailand)

Mayoritas warga Bangkok adalah dari suku Thai dan memeluk agama Buddha. Namun, untuk menemukan komunitas Jawa yang seluruhnya muslim cukup mudah. Jawa Posyang mendapat informasi dari Persatuan Pelajar Indonesia di Thailand bahwa kampung Jawa berlokasi di Distrik Sathorn, pusat kota Bangkok, sama sekali tak kesulitan mencarinya. Cukup bertanya kepada penduduk setempat dengan menyebut kata ''surau'' atau ''hong lamat muslim'', telunjuk penduduk langsung menunjuk ke sebuah bangunan di Jalan (Soi) Rangnamkeang 707, Yanawa.

Bangunan yang menjadi tetenger kampung Jawa itu bernama Jawa Mosque alias Masjid Jawa. Pada bangunan berarsitektur kuno, namun masih terlihat kukuh itu ornamen khas Jawa terlihat jelas. Seperti masjid-masjid kuno di Jawa Tengah, khususnya Demak, bangunan utama masjid berbentuk segiempat ukuran 12 x 12 meter dengan empat pilar di tengah yang menjadi penyangga. Selain sisi arah kiblat, di tiga sisi lainnya terdapat masing-masing tiga pintu kayu.

Seperti halnya di Jawa, di bagian depan (pengimaman) Masjid Jawa terdapat sebuah mimbar kayu yang dilengkapi tangga. Di kanan dan kirinya terdapat dua jam lonceng, juga terbuat dari kayu. Tak ketinggalan perangkat khas masjid di Jawa, yakni beduk, masih tetap ada dan berfungsi. Padahal, menurut keterangan pengurus masjid, usianya sama dengan usia masjid

Dari namanya, bisa ditebak, masjid Jawa berada tak jauh-jauh bahkan tepat di tengah-tengah wilayah yang penduduknya memiliki keturunan darah Jawa. Seperti Abdussamad, bilal Masjid Jawa yang memiliki kakek berasal dari Kendal, barat kota Semarang. ''Wis salat(Sudah salat, Red)?'' sapa Abdussamad dengan logat khas Thailand begitu mengetahui wartawan koran ini berasal dari Jawa.

Kebetulan Jawa Pos datang ketika Abdussamad yang masih mengenakan sarung baru saja menunaikan salat Asar berjamaah. Meski lahir dan dibesarkan di Thailand, dia mengaku mengetahui beberapa kosakata Jawa yang umum digunakan. ''Aku wong Jawa ning Thailand (Saya orang Jawa yang tinggal di Thailand, Red),'' katanya mencoba berbahasa Jawa dengan logat Thailand, lantas tertawa.

Dia tidak mengetahui persis bagaimana kakeknya yang bernama Muhammad Toyib bisa berada di Bangkok. Namun, berdasar cerita-cerita dari sesepuh yang pernah dia dengar, banyak penduduk Jawa merantau ke Thailand dan bekerja di perkebunan sejak awal abad ke-20, sekitar 1990-an.

Jumlah warga asal Jawa di Tahiland meningkat pesat ketika Jepang menjalankan kerja paksa (romusa) pada Perang Dunia II. Saat itu ribuan orang Jawa diangkut ke Thailand untuk membangun rel kereta yang menghubungkan Thailand dengan Burma kala itu.

Saat PD II berakhir, terjadilah tragedi pengeboman rel kereta api oleh sekutu di Kanchanaburi. Sekitar 100.000 orang, sebagian besar bersuku Jawa, tewas pada peristiwa itu. Sisa dari orang Jawa yang selamat itu bertahan di kampung Jawa sekarang.

Meski rata-rata sudah generasi ketiga, kata Abdussamad, beberapa tradisi Jawa masih dipertahankan di kampung Jawa. Misalnya, pekan depan akan diadakan pengajian Maulid Nabi. Makanan khas disediakan, seperti mi lontong dan sate. ''Besok (hari ini, Red) juga ada acara wong mantu (pernikahan). Nanti ada yang seperti Jawa, pakai songkok dan batik,'' urai pria 43 tahun itu.

Bukan hanya itu, jika bulan Ramadan tiba, budaya buka bersama dengan takjil makanan khas juga tersedia. Menurut Abdussamad, beberapa jajanan disediakan. Misalnya, kue cucur dan es cao.

Tentang sejarah Masjid Jawa, Abdussamad lantas menunjukkan prasasti tentang Masjid Jawa yang berada di dinding kiri bangunan utama. Dari dokumen yang ada disebutkan, masjid itu didirikan pada Juni-September pada era Rathanakosin (periode Rama V ) tahun 2440 di tahun ular, atau bertepatan pada bulan Muharam 1326 H atau 1908 di kalender Masehi.

Masjid tersebut didirikan orang Jawa dengan luas 14 x 12 asta. Tanahnya merupakan wakaf dari almarhum Haji Muhammad Shaleh. Akad wakaf tercatat pada ***** 16 Juni 2440 diberikan kepada masyarakat muslim pada umumnya.

Ameen Mudpongtua, imam Masjid Jawa, menjelaskan, meskipun dibangun warga Jawa, masjid itu terbuka bagi siapa saja. Bahkan, Ameen sendiri merupakan keturunan Melayu. ''Melayu boleh, Indonesia juga boleh. Dari mana saja,'' katanya dalam bahasa Thailand yang diterjemahkan seorang takmir masjid. Ameen yang berusia 74 tahun telah menjadi imam masjid sejak lima tahun silam.

Buktinya adalah seorang warga Pakistan Zahoor Ahmed, yang juga ikut menemani perbicangan dengan Jawa Pos. Mahasiswa tingkat delapan di Islamabad University itu sudah setahun tinggal di Bangkok. ''Saya sedang bisnis garmen di Thailand. Saya suka tinggal di sini. Penduduknya ramah-ramah,'' katanya.

Kegiatan di Masjid Jawa tidak berbeda dengan masjid pada umumnya. Selain ibadah wajib, seperti salat lima waktu dan salat Jumat, ada pengajian dan pembagian zakat menjelang Idul Fitri. Setiap hari selepas salat Magrib, giliran anak-anak yang belajar mengaji. ''Di sini semua gratis,'' kata imam yang hafal Alquran itu.

Untuk belajar agama, lanjut Ameen, di depan masjid terdapat sebuah madrasah. Bangunannya berlantai dua dengan ruangan terbuka. Biasanya, waktu belajar dari jam 19.00 hingga 20.00. Pesertanya adalah anak-anak dan remaja. Selain itu, di seberang jalan, terdapat area pemakaman yang cukup luas dan mampu menampung sekitar seribu makam. ''Itu kuburan muslim,'' jelas Ameen yang juga pemimpin upacara-upacara keagaamaan, seperti memandikan jenazah dan memakamkan.

Tak hanya budaya yang dipertahankan, warga kampung Jawa juga mempertahankan pengaturan rumah-rumah mereka mirip dengan perkampungan Kauman yang biasanya berada di sekitar masjid besar di Jawa. Umumnya, rumah memiliki pagar yang cukup tinggi dengan halaman yang cukup luas juga. Selain keturunan Jawa, di perkampungan itu terdapat penduduk asli Thailand yang juga muslim.

Yang menarik, di perkampungan itu juga tinggal salah satu keluarga besar dari KH Ahmad Dahlan. Dia adalah tokoh pembaru Islam asal Jogjakarta yang mendirikan Muhammadiyah, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia. Dia adalah Walidah Dahlan yang merupakan anak dari almarhum Irfan Dahlan, anak kelima KH Ahmad Dahlan.

Walidah menceritakan, ayahnya yang lahir pada 1907 sejak muda sudah belajar di luar negeri, yakni di Lahore, Pakistan. Kemudian, Irfan menetap di Bangkok hingga meninggal pada 1967. Di ibu kota Negeri Gajah Putih itu, Irfan berprofesi sebagai guru dan mubalig. Dari pernikahannya dengan Zahara, Irfan memiliki sepuluh anak. ''Kami bangga menjadi cucu pendiri Muhammadiyah,'' kata Walidah yang merupakan anak kesembilan. Karena itu, anak-anak Irfan juga mencantumkan nama Dahlan di belakang nama mereka.

Meski belum pernah ke tanah leluhurnya di Jawa, dia mengetahui beberapa daerah di kota Jogjakarta. Walidah lantas menyebut rumah sakit PKU Muhammadiyah yang berada di Jalan Ahmad Dahlan. Dia berharap, suatu saat nanti bisa sampai ke Kota Gudeg itu. ''Insya Allah, bisa ke sana,'' harapnya.

Tinggal di perkampungan Jawa membuat Walidah juga bisa berbahasa Jawa. Dia mengaku bisa menggunakan kosakata Jawa meski terbatas. Misalnya, menyebut amben(tempat tidur) dan dingklik (kursi). Demikian juga beberapa masakan khas seperti sambel goreng dan tumpeng yang diketahuinya. ''Ada lagi kata-kata Jawa. Ora ana duit (Tidak ada uang, Red),'' canda ibu dari Elvila itu

Comments

Popular posts from this blog

FILOSOFI "MENCARI TAPAKE KUNTOL MABOR" kepasraahan terhadap alloh

Cara Tracking Astro (Measat 3) Dan Indovision (Ses 7) Dalam Satu Dish/Parabola

APA YANG DIMAKSUD DENGAN MANUNGGALING KAWULO GUSTI